Pemerintah Genjot Produksi Kendaraan Beroda Empat Sedan

Foto: Pradita Utama
Jakarta - Pemerintah lewat Kementerian Perindustrian terus merancang kebijakan dukungan insentif fiskal yang lebih menarik sehingga sanggup menggairahkan iklim industri, terutama industri otomotif.

"Misalnya, untuk industri otomotif, kami mengusulkan harmonisasi tarif dan revisi besaran PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)," ujar Menperin Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Selasa (25/12/2018).

Baca juga: Demi Xpander, Mitsubishi Korbankan Pajero Sport Lokal

Upaya strategis itu salah satunya guna mendongkrak produktivitas kendaraan sedan lantaran sesuai undangan pasar ekspor ketika ini. Sebab, produksi industri otomotif di Indonesia masih didominasi jenis SUV dan MPV. Pasar yang potensial untuk ekspor sedan, contohnya ke Australia. Peluangnya mencapai 1,3 juta unit. Sementara, jumlah pengapalan untuk kendaraan roda empat produksi Indonesia ke mancanegara ketika ini sebesar 200 ribu unit per tahun.

Pada Januari-Oktober 2018, industri otomotif di Indonesia mengekspor kendaraan roda dua dengan total nilai sebesar USD 1,3 miliar. Sedangkan, untuk kendaraan roda empat, dengan nilai USD 4,7 miliar. Menperin mencontohkan beberapa industri otomotif sudah berhasil melaksanakan ekspor. Menurutnya, mereka bisa melaksanakan ekspor ketika ada investasi yang menggerakkan industri sehingga menghasilkan produk yang berdaya saing.

"Kemarin sudah ada ekspor dari Toyota, Suzuki, dan Yamaha Motor. Semua itu kan investasi dulu gres ekspor. Karena kapasitasnya rata-rata sudah optimal," terang Airlangga Hartarto.

Baca juga: Saat Jokowi Makan Siang di Kantin Karyawan Yamaha

Menperin mengandalkan industri manufaktur untuk menggenjot ekspor guna memperbaiki neraca perdagangan di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global. "Saat ini, ekspor produk industri manufakur menunjukkan bantuan mencapai 72,28 persen dari total ekspor nasional," kata Airlangga.

Kementerian Perindustrian mencatat, nilai ekspor produk manufaktur terus meningkat setiap tahun. Hingga Desember 2018, bisa menembus USD 130,74 miliar atau naik 4,51 persen dibanding capaian tahun 2017 sebesar USD 125,10 miliar. Tahun 2016 sekitar USD 110,50 miliar dan tahun 2015 di angka USD 108,60 miliar. Menurut Menperin, dalam upaya mendorong peningkatan ekspor dari industri manufaktur, diharapkan langkah untuk memacu investasi atau ekspansi.

"Supaya bisa menggenjot kapasitas industri, dibutuhkan tambahan investasi untuk perluasan usaha," jelasnya.

Baca juga: Menperin: Mobil Desa Dimodifikasi, Cool!

Hingga Desember 2018, investasi industri nonmigas diperkirakan mencapai Rp226,18 triliun. Selain menumbuhkan populasi industri, investasi sanggup memperdalam struktur industri di dalam negeri sehingga berperan sebagai substitusi impor.

"Populasi industri besar dan sedang bertambah sebesar 6 ribu unit usaha. Industri kecil mengalami penambahan jumlah industri yang mendapat izin sebanyak 10 ribu unit usaha," paparnya. Dari capaian tersebut, total tenaga kerja di sektor industri yang telah terserap sebanyak 18,25 juta orang. Jumlah tersebut naik 17,4 persen dibanding tahun 2015 di angka 15,54 juta orang.

Menperin menambahkan, dalam rangka menggenjot nilai ekspor, Indonesia akan aktif menjalin kemitraan ekonomi dengan banyak sekali negara melalui free trade agreement (FTA) atau comprehensive economic partnership agreement (CEPA).

Misalnya, Indonesia dan empat negara yang tergabung dalam European Free Trade Association (EFTA) telah menandatangani bagan IE-CEPA. Empat negara EFTA yaitu Swiss, Liechtenstein, Islandia dan Norwegia.

"Jadi, peluang meningkatkan ekspor kita akan sangat besar lantaran bea masuk ke sana menjadi nol persen. Berbagai produk andalan dari Indonesia siap merambah pasar global, menyerupai pemanis ke Swiss dan produk-produk lainnya menyerupai tekstil, pakaian, dan ganjal kaki, termasuk juga produk IKM," ujarnya.

Airlangga menegaskan, pihaknya tengah mendorong peningkatan ekspor oleh industri yang mempunyai kelebihan kapasitas. Hal ini alasannya yaitu sudah bisa memenuhi pasar domestik. "Jadi memang perlu diperhatikan kombinasi pasar domestik dan ekspor biar volumenya meningkat," tandasnya.

Adapun sektor yang sedang dipacu, antara lain industri masakan dan minuman serta industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Kelompok ini juga merupakan manufaktur yang mendapat prioritas pengembangan dalam penerapan industri 4.0 sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0.

"Pada tahun 2030, Indonesia ditargetkan menjadi lima besar eksportir untuk industri masakan dan minuman di tingkat global," ungkapnya.

Implementasi industri 4.0 diyakini bisa meningkatkan ekspor masakan dan minuman nasional hingga empat kali lipat, dari sasaran tahun ini sekitar USD12,65 miliar yang akan menjadi sebesar USD50 miliar pada 2025.

Sementara itu, industri TPT bisa kompetitif lantaran struktur industrinya sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir dan produknya juga dikenal mempunyai kualitas yang baik di pasar internasional. Sektor padat karya ini bisa menunjukkan share ekspor dunia sebesar 1,6 persen.

Pada tahun 2018, Kemenperin mematok ekspor industri TPT sebesar USD13,5 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2,95 juta orang. Tahun 2019, ekspornya diharapkan bisa mencapai USD15 miliar dan menyerap sebanyak 3,11 juta tenaga kerja. Periode Januari-Oktober 2018 ekspor TPT nasional telah menembus di angka USD11,12 miliar, naik 7,1 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu.

Di samping itu, industri karet sintetis juga berpeluang dongkrak nilai ekspor nasional. Hal ini seiring dengan adanya investasi PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI), beberapa waktu lalu. Diproyeksi nilai ekspor karet sintetis dari perusahaan ini mencapai USD 250 juta dengan kapasitas produksi 120 ribu ton per tahun. Dalam pemanfaatannya, karet sintetis banyak dimanfaatkan untuk memproduksi ban, conveyor belt., komponen karet, ganjal kaki, serta pembungkus kabel listrik

Sumber detik.com